Senin, 26 September 2011

TERJADINYA KONFLIK DALAM ORGNISASI


A. KONFLIK
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik adalah satu phenomena yang akan selalu mewarnai interaksi sosial sehari-hari dan menyertai kehidupan organisasi. Situasi dan kondisi tertentu dapat menjadi pemicu konflik, mulai dari ketidak cocokan pribadi, perbedaan sistem nilai, persaingan, ketidak jelasan batas-batas wewenang dan tanggung jawab, perbedaan fungsi, komunikasi yang tidak “nyambung”, pertentangan kepentingan dan lain-lain. Semakin bertambah besar sebuah organisasi, semakin banyak dan kompleks konflik yang akan dihadapi.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Teori-teori konflik
Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama adalah teori konflik C. Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori konflik Karl. Marx, yaitu tentang pertentangan kelas, dan ketiga adalah teori konflik James Scott, yaitu tentang Patron Klien.

Faktor penyebab konflik

  • Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
  • Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
  • Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
  • Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
[sunting] Jenis-jenis konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
  • konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role).
  • Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
  • Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
  • Koonflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
  • Konflik antar atau tidak antar agama
  • Konflik antar politik.
[sunting] Akibat konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
  • meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
  • keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
  • perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
  • kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
  • dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
  • Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.

B. Mediasi

Untuk menghindarkan penanganan dysfunctional conflict berkepanjangan dan biaya tinggi (misalnya melalui pengadilan) dapat dimanfaatkan model Alternative Dispute Resolution (ADR) dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi melalui cara-cara informal.
Peranan Mediator dapat berbentuk :
1.            Facilitation, di mana pihak ketiga mendesak dan membujuk pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding secara langsung dalam suasana yang positif dan konstruktif.
2.            Conciliation, di mana pihak ketiga yang netral bertindak sebagai komunikator di antara pihak-pihak yang berselisih. Ini dilakukan bila pihak yang berselisih menolak untuk bertemu muka dalam perundingan langsung.
3.            Peer –review, yaitu sekelompok wakil-wakil karyawan (panel) yang bisa dipercaya karena kemampuannya untuk tidak berpihak, mendengarkan pandangan, pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang berselisih di dalam pertemuan informal dan konfidensial. Keputusan-keputusan dari panel dapat menjadi acuan untuk penyelesaian konflik.
4.            Ombudsman : seseorang karyawan sebuah organisasi/perusahaan yang secara luas dihormati dan dipercaya oleh rekan-rekan sekerjanya, mendengarkan keluhan mereka secara konfidensial, dan berusaha mencari jalan keluar dengan pihak manajemen.
5.            Mediation : pihak ketiga yang netral dan terlatih secara aktif menuntun pihak-pihak yang berselisih untuk menggali solusi-solusi inovatif untuk menyelesaikan konflik.
6.            Arbitration : pihak-pihak yang berselisih bersepakat menerima keputusan dari arbitrator yang netral melalui proses seperti di pengadilan, seringkali lengkap dengan bukti-bukti dan saksi-saksi.
Manajemen Konflik dan Negosiasi ; Suatu Pendekatan Kontingensi
Tiga catatan penting dalam menangani konflik organisasi :
Pertama :       berbagai jenis konflik tidak mungkin dihindarkan karena dipicu
oleh berbagai variasi penyebab.
Kedua      :      terlalu sedikit konflik pertanda besarnya kondisi kontra -
produktif dalam organisasi.
Ketiga      :      tidak ada satu jalan terbaik untuk mengatasi konflik.
Dengan dasar itu para ahli penanganan konflik merekomendasikan pendekatan kontingensi (contingency approach) untuk memanaj konflik. Penyebab konflik dan konflik yang terjadi harus dimonitor. Kalau muncul pertanda terlalu sedikit konflik karena apatisme atau kurangnya kreativitas, maka functional conflict perlu distimulir melalui “Programmed Conflict”, baik menggunakan devil’s advocacy ataupun dialectic method.
Kalau konflik menjurus menjadi dysfunctional, cara penanganan konflik yang tepat perlu dilakukan; para manajer dapat dilatih melalui pengalaman dan role-playing penanganan konflik. Intervensi pihak ketiga dibutuhkan apabila pihak-pihak yang berselisih tidak mau atau tidak mampu mengatasi konflik. Integrative atau value-added negotiation paling tepat untuk mengatasi konflik antar group atau antar organisasi.


Contoh:
Konflik di DPRD Semarang, Kepentingan Rakyat Terabaikan
BERITA - jawa.infogue.com - Laporan wartawan Harry Susilo

SEMARANG, -Konflik internal yang terjadi di tubuh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Semarang dalam pembentukan komisi membuat kepentingan rakyat terabaikan. Perebutan jabatan dalam komisi menunjukkan bahwa anggota DPRD lebih mengutamakan kepentingan kekuasaaan dibandingkan konstituennya.

"Kalau terus ribut-ribut soal jabatan yang dikorbankan jelas kepentingan masyarakat karena DPRD tidak bisa bekerja optimal," ujar pakar kebijakan publik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono, di Kota Semarang, Minggu (18/10).

Konflik ini membuat sidang paripurna pembentukan badan musyawarah, legislatif, dan anggaran, tertunda yang seharusnya sudah dilaksanakan Selasa (13/10). Konflik tersebut juga berpotensi menghambat pembahasan APBD Perubahan 2009 dan masalah pelayanan publik lainnya.

Hingga kini, hanya tiga fraksi yang masuk dalam empat komisi di DPRD Kota Semarang yaitu, Partai Demokrat, PDI-Perjuangan, dan PKS. Susunan pimpinan komisi pun akhirnya dipegang oleh fraksi ini .

Adapun tiga f raksi lainnya yaitu f raksi PAN, Partai Golkar, dan Partai Gerindra-PKB masih belum puas terhadap keputusan pembentukan komisi pada sidang paripurna Jumat (9/10). Mereka menginginkan adanya perombakan susunan pimpinan komisi dengan mengadakan sidang paripurna ulang.

Menurut Teguh, belum adanya titik temu dalam konflik tersebut karena masing-masing fraksi mempertahankan kepentingan politik mereka. Mekanisme hukum menjadi langkah terakhir ketika komunikasi politik buntu. Namun, langkah hukum dipastik an semakin me nunda kinerja DPRD untuk rakyat karena membutuhkan proses waktu panjang.

Padahal, Teguh mengemukakan, penyelesaian konflik itu sebenarnya hanya membutuhkan terobosan politik. Pimpinan partai tingkat provinsi , pimpinan fraksi, dan pimpinan DPRD perlu berkumpul untuk lobi. "Dalam lobi ini, masing-masing pihak harus mau memberi dan menerima. Jangan hanya maunya menerima saja, itu namanya eksploitasi," katanya.

Ketua Fraksi PAN Agung Purno Sarjono mengatakan, tiga fraksi yang bel um puas akan mengajukan gugatan hukum terhadap hasil sidang paripurna pembentukan komisi karena dinilai cacat hukum. Bahkan, mereka telah menyiapkan tim penasihat hukum untuk menuntut Ketua DPRD Kota Semarang sebagai pembua t keputusan.

Ketua DPRD Kota Sema rang Rudi Nurrahmat mengaku, tetap berusaha menjembatani kepentingan antarfraksi dengan menginginkan adanya pertemuan bersama pimpinan fraksi. Namun, susunan komisi memang tidak bisa dirombak lagi karena sudah diputuskan dalam sidang paripurna.

Rudi menyayangkan konflik tersebut justru semakin berlarut-larut karena semua fraksi mempertahankan sikapnya. Padahal, masih ada pimpinan pada alat kelengkapan lainnya yang bisa dinegosiasikan. "Kita semua satu lembaga, jangan bicara kepentingan masing-masing dulu. Kalau begini, nanti masyarakat menilai DPRD tidak bisa bekerja," tutur nya.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar